SETIAP tanggal 1 Muharram kaum Muslim merayakan Tahun Baru Hijriyah. Lazimnya, umat Islam mengadakan pengajian, tablig akbar, ceramah, juga "pawai obor" yang biasanya melibatkan anak-anak.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), seperti diberitakan berbagai media, akan merayakan tahun baru 1436 Hijriah ini secara "akbar", Minggu 26 Oktober 2014, di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.
Menurut Ketua Panitia Dr Isran Noor, perayaan ini akan menjadi tonggak persatuan umat. Umat Islam akan menunjukkan jati dirinya. "Kegiatan itu akan menjadi syi'ar agama Islam," jelasnya.
Dikatakannya, peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1436 Hijriah kali ini sanggup membawa kesadaran masyarakat terhadap makna sesungguhnya, yang tak lepas peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah.
"Peringatan pada tahun ini juga diharapkan bisa mengubah perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik," ujarnya.
Kalimat "mengubah perilaku masyarakat ke arah yang lebih baik" patut kita garisbawahi. Pasalnya, itulah makna tahun baru Islam yang sebenarnya.
Setiap memasuki tahun baru Islam, kaum Muslim hendaknya memiliki semangat baru untuk merancang dan melaksanakan hidup ini secara lebih baik.
Peristiwa HIJRAH umat Islam dari Makkah ke Madinah bukan saja mengandung nilai sejarah dan strategi perjuangan, tapi juga mengandung nilai-nilai dan pelajaran berharga bagi perbaikan kehidupan umat secara pribadi dan kejayaan kaum Muslim pada umumnya.
Maka, seyogianya dalam memaknai tahun baru Islam ini, kita menggali kembali hikmah yang terkandung di balik peristiwa hijrah yang dijadikan momentum awal perhitungan Tahun Hijriyah.
Keutamaan Tahun Hijriyah
Tahun hijriyah mulai diberlakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Sistem penanggalan Islam itu tidak mengambil nama 'Tahun Muhammad' atau 'Tahun Umar'. Artinya, tidak mengandung unsur pemujaan seseorang atau penonjolan personifikasi, tidak seperti sistem penanggalan Tahun Masehi yang diambil dari gelar Nabi Isa, Al-Masih (Arab) atau Messiah (Ibrani).
Tidak juga seperti sistem penanggalan Bangsa Jepang, Tahun Samura, yang mengandung unsur pemujaan terhadap Amaterasu O Mi Kami (dewa matahari) yang diproklamasikan berlakunya untuk mengabadikan kaisar pertama yang dianggap keturunan Dewa Matahari, yakni Jimmu Tenno (naik tahta tanggal 11 pebruari 660 M yang dijadikan awal perhitungan Tahun Samura). Atau penangalan Tahun Saka bagi suku Jawa yang berasal dari Raja Aji Saka.
Menurut dongeng atau mitos, Aji Saka diyakini sebagai raja keturunan dewa yang datang dari India untuk menetap di Tanah Jawa.
Penetapan nama Tahun Hijriyah (al-Sanah al-Hijriyah) merupakan kebijaksanaan Khalifah Umar bin Khattab.
Seandainya Khalifah Umar berambisi untuk mengabadikan namanya dengan menamakan penanggalan itu dengan "Tahun Umar" sangatlah mudah baginya melakukan itu. Umar tidak mementingkan keharuman namanya atau membanggakan dirinya sebagai pencetus ide sistem penanggalaan Islam itu.
Umar malah menjadikan penanggalan itu sebagai jaman baru pengembangan Islam, karena penanggalan itu mengandung makna spiritual dan nilai historis yang amat tinggi harganya bagi agama dan umat Islam.
Umar malah menjadikan penanggalan itu sebagai jaman baru pengembangan Islam, karena penanggalan itu mengandung makna spiritual dan nilai historis yang amat tinggi harganya bagi agama dan umat Islam.
Selain Umar, orang yang berjasa dalam penanggalan Tahun Hijriyah adalah Ali bin Abi Thalib. Keponakan Rasulullah Saw inilah yang mencetuskan pemikiran agar penanggalan Islam dimulai penghitungannya dari peristiwa hijrah, saat umat Islam meninggalkan Makkah menuju Yatsrib (Madinah).
Dalam buku Kebangkitan Islam dalam Pembahasan (1979), Sidi Gazalba, menulis:
Dalam buku Kebangkitan Islam dalam Pembahasan (1979), Sidi Gazalba, menulis:
''Dipandang dari ilmu strategi, hijrah merupakan taktik. Strategi yang hendak dicapai adalah mengembangkan iman dan mempertahankan kaum mukminin.''

Tidak ada komentar:
Posting Komentar