. Ayat Al-quran tentang kebersihan
وَقَرْنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ
وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ
إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ
وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا
Artinya: dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul
bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. QS. Al- Ahzab:33
b. Ayat Al-quran
tentang bersuci
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ
إِلَی الصَّلاَةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَکُمْ وَ أَيْدِيَکُمْ إِلَی الْمَرَافِقِ
وَ امْسَحُوْا بِرُؤُوْسِکُمْ وَ أَرْجُلَکُمْ إِلَی الْکَعْبَيْنِ وَ إِنْ
کُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا وَ إِنْ کُنْتُمْ مَرْضَی أَوْ عَلَی سَفَرٍ أَوْ
جَاءَ أَحَدٌ مِنْکُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ
تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِکُمْ
وَ أَيْدِيْکُمْ مِنْهُ مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْکُمْ مِنْ حَرَجٍ وَ
لَکِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَکُمْ وَ لِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْکُمْ لَعَلَّکُمْ
تَشْکُرُوْنَ
Artinya: Wahai Orang-orang yang beriman, jika kalian ingin mengerjakan
shalat, maka basuhlah wajah dan tangan kalian hingga siku-siku, serta usaplah
sebagian kepala dan kaki kalian hingga kedua mata kaki. Jika kalian dalam
kondisi junub, maka bersucilah. Jika kalian dalam keadaan sakit, dalam
perjalanan, salah seorang dari kalian datang dari buang hajat,atau kalian
menyentuh kaum wanita, lalu kalian tidak menemukan air, maka bertayammumlah
dengan menggunakan tanah yang suci. Usaplah sebagian wajah dan tangan kalian.
Allah tidak ingin menjadikan kesengsaraan bagi kalian. Akan tetapi, Ia ingin
menyucikan kalian dan menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian supaya kalian
bersyukur". (Q.S. Al-Mâ`idah [4]: 6)
c. Ayat Al-quran tentang air
إِنَّ فِي
خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا
أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ
مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ
وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya
malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi
manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air
itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu
segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara
langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah)
bagi kaum yang memikirkan.
2.a Hadits Tentang kebersihan
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بَيْنَمَارَجُلٌ يَمْشِى بِطَرِيْقٍ وَجَدَ غُصْنَ
شَوْكٍ فَأَخَذَهُ فَشَكَرَاللهُ لَهُ فَغَفَرَلَهُ
“Bahwsanya Rasulullah saw bersabda, ”Ketika seorang laki-laki sedang berjalan di jalan, ia menemukan dahan berduri, maka ia mengambilnya (karena mengganggunya). Lalu Allah swt berterima kasih kepadanya dan mengampuni dosanya”. (HR. Bukhari)
“Bahwsanya Rasulullah saw bersabda, ”Ketika seorang laki-laki sedang berjalan di jalan, ia menemukan dahan berduri, maka ia mengambilnya (karena mengganggunya). Lalu Allah swt berterima kasih kepadanya dan mengampuni dosanya”. (HR. Bukhari)
b. Hadits tentang bersuci
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِفْتَاحُ الصَّلاةِ الطُّهُورُ (رواه
التيرمدى: 221)
Dari Abu Sa'id berkata, Rasulullah saw. Bersabda, “Kunci dari salat adalah bersuci.”(H.R. at-Tirmizi)”
Dari Abu Sa'id berkata, Rasulullah saw. Bersabda, “Kunci dari salat adalah bersuci.”(H.R. at-Tirmizi)”
c. Hadits Tentang Air
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ، وَيَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ، إِلَى خَمْسَةِ
أَمْدَادٍ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu
mud (air) dan mandi dengan satu sha’ sampai lima mud (air)” (HR. Bukhari no. 198 dan
Muslim no. 325).
Satu sha’ sama dengan empat mud. Satu mud kurang lebih setengah liter
atau kurang lebih (seukuran) memenuhi dua telapak tangan orang dewasa.
Lihatlah contoh teladan dari panutan kita, yaitu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Ketika beliau berwudhu, beliau hanya menghabiskan satu
mud air. Padahal wudhu adalah salah satu ibadah yang penting, di mana shalat
tidaklah diterima tanpa berwudhu dalam kondisi berhadats (tidak suci
dari najis). Jika dalam ibadah saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mencontohkan untuk menghemat air, lalu bagaimana lagi jika menggunakan air di
luar keperluan ibadah kepada Allah Ta’ala? Tentu lebih layak lagi untuk
berhemat dan disesuaikan dengan kebutuhan kita, serta jangan berlebih-lebihan.
3. Pandangan Ulama tentang Kebersihan
Demikian menurut ijma Para ulama sepakat tentang wajibnya bersuci dengan
air jika air itu ada dan dapat digunakan, serta tidak ada keperluan lain yang
lebih mendesak, seperti minum. Sementara itu, wajib bertayamum dengan tanah
(debu) jika tidak ada air. Para fuqaha di kota-kota besar seperti Kufah dan
Basrah telah sepakat bahwa air laut, baik yang tawar maupun yang asin, adalah
suci mensucikan, seperti air-air yang lain. Namun, terdapat beberapa ulama yang
melarang berwudhu dengan air laut.Ada juga sekelompok ahli fiqih yang
membolehkannya ketika dalam keadaan darurat saja.Sementara itu ada ahli fiqih
lain yang membolehkan bertayamum walaupun ada air lain untuk berwudhu. Para
ulama sepakat bahwa bersuci tidak sah kecuali dengan air. Diriwayatkan dari Ibn
Ali Laila dan al-‘Ashim tentang bolehnya bersuci dengan menggunakan cairan yang
lain. Maliki, Syafi’I dan Hambali : Najis tidak dapat dihilangkan kecuali
dengan air. Hanafi : Najis dapat dihilangkan denga segala cairan yang
suci. Pendapat paling shahih dari Syafi’I : Air panas karena terkena sinar
matahari hukumnya adalah makruh. Sementara itu, pendapat yang dipilih oleh para
pengikutnya yang kemudian adalah pendapat yang mengatakan bahwa hal itu tidak
makruh. Demikian juga menurut tiga imam yang lain, yaitu Hanafi, Maliki dan
Hanbali. Air yang dimasak hukumnya tidak makruh, demikian menurut kesepakatan
para ulama’. Diriwayatkan dari mujahid bahwa ia memakruhkannya. Sementara itu,
Hanbali memakruhkannya jika ia dipanaskan dengan api. Air bekas bersuci
(musta’mal) hukumnya adalah suci, tetapi tidak menyucikan. Demikianlah pendapat
yang masyhur di kalangan madzab Hanafi, yang paling shahai adalah madzab
Syafi’I, dan madzab Hanbali, Maliki : Air musta’mal dapat menyucikan. Sementara
itu, menurut sebagian riwayat dari Hanafi : Air musta’mal adalah najis.
Demikian juga menurut pendapat Abu Yusuf. Air yang berubah karena bercampur
dengan ja’faran atau benda-benda suci lain yangsejenis dan perubahannya sangat
jelas, menurut Maliki, Syafi’i dan Hanbali : Air tersebut tidak dapat
dipergunakan untuk bersuci. Hanafi dan para pengikutnya : Boleh bersuci dengan
air tersebut. Mereka berpendapat bahwa berubahnya air oleh sesuatu yang suci
tidaklah menghilangkan sifat menyucikan selama unsure-unsur airnya tidak
hilang.Air yang berubahkarena terlalu lama disimpan atau tidak digunakan
hukumnya adalah suci. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Diriwayatkan
dari Ibn Sirin, bahwa air tersebut tidak boleh digunakan untuk bersuci. Mandi
dan berwudhu dengan air zam-zam, Menurut Hanbali hukumnya adalah makruh. Hal
itu demi memelihara kemuliaanya. Api dan matahari tidak dapat menghilangkan
najis. Namun, Hanafi berpendapat : Api dan matahari dapat menghilangkan najis.
Menurutnya jika ada kulit bangkai menjadi kering oleh sinar matahari, maka
hukumnya suci meskipun tidak disamak.Demikian pula jika diatas tanah terdapat
najis, kemudian kering oleh sinar matahari, maka tempat itu menjadi suci dan
dapat dipergunakan untuk bertayamum.Hanafi : Api dapat menghilangkan najis Hanafi,
Syafi’I dan Hanbali dalam salah satu riwayatnya : Apabila air tenang kurang
dari dua qullah, ia akan menjadi najis jika terkena benda najis walaupum
sifat-sifatnya tidak berubah. Adapun jika air itu lebih dari dua qullah, yaitu
500 rith ! Baghdad atau 180 rith ! Damaskus, atau dalam volume 4×4×4 hasta,
tidaklah menjadi najis jika terkena benda najis kecuali jika sifat-sifatnya
berubah. Demikianlah, pendapat Syafi’i dan Hanbali.Maliki : Air yang berada
disebuah tempat dengan ukuran tersebut tidak najis terkena benda najis. Namun
jika warna, rasa, atau baunya berubah maka hukumnya adalah najis, baik air itu
sedikit maupun banyak. Hanafi, Hanbali dan qaul jadid Syafi’i yang menjadi
pendapat paling kuat didalam madzab Syafi’i : Air yang mengalir hukumnya sama
dengan air yang tenang. Maliki : Air yang mengalir itu tidak menjadi najis jika
terkena benda najis kecuali jika air tersebut berubah, baik sedikit maupun
banyak.Seperti ini pula qaul qadim Syafi’i dan dipilih oleh sekelompok
sahabatnya, seperti al-Baghawi, Imam al-Haramain, dan al-Ghazali. Imam
anNawawi, di dalam Syarh al-Muhadzdzib, mengatakan bahwa inilah pendapat yang
kuat. Para ulama : Penggunaan perkakas yang terbuat dari emas untuk makan,
minum dan berwudhu, baik oleh laki-laki maupun perempuan, adalah haram. Syafi’i
berpendapat sebaliknya.Sementara itu, Dawud barpendapat bahwa hal itu haram
hanya jika digunakan untuk minum. Pendapat Hanafi, Maliki dan Hanbali yang
mengharamkannya lebih kuat daripada pendapat Syafi’i. Para ulama’ menggunakan
saluran air yang terbuat dari emas adalah haram. Adapun, menggunakan saluran
air yang terbuat dari perak adalah haram menurut Maliki,Syafi’i dan Hanbali
jika alirannya besar dan untuk hiasan. Hanafi : Menggunakan saluran air dari
perak tidak haram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar